Pekerjaan Rumah Kartu Prakerja

Umi Hanik & Didin Mujahidin
Peneliti MONEV Studio


Perlu evaluasi lebih mendalam sebelum meluncurkan kembali Program Kartu Prakerja dengan perbaikan pendekatan yang lebih berdampak di tahun ini. Peningkatan keterampilan para peserta prakerja belum mampu menunjang kompetensi, produktivitas, dan daya saing. Bahkan kontribusinya terhadap pengembangan kewirausahaan masih jauh panggang dari api. Prakerja hanya menjadi program semi bantuan sosial.

Meski evaluasi sebagai dasar perbaikan proses dan antisipasi dampak program tampaknya belum tuntas. Namun, pemerintah telah memutuskan kembali untuk melanjutkan program Kartu Prakerja pada 2022. Mengingat Indonesia yang majemuk dan panjangnya catatan program yang sudah berjalan hampir dua tahun ini, maka pola pikir one size doesn’t fit all perlu dikedepankan agar membuka cakrawala pikir kita terhadap bukti-bukti mikro dan kualitatif yang menggambarkan fenomena kemajemukan itu sendiri, sehingga tidak satu pun yang menjadi sasaran program ini tertinggal dari program.

Pada saat pandemi Covid-19, program ini menjelma menjadi bantuan sosial. Insentif biaya mencari kerja sebesar Rp 600.000 perbulan dimanfaatkan para penerima prakerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini terjadi akibat sulitnya mencari pekerjaan pada masa pandemi dan tingginya angka pemutusan kerja.

Pada saat itulah, masyarakat berbondong-bondong mengikuti program prakerja. Harapan besar mendapat dana bantuan tersebut untuk menyambung hidup di tengah krisis saat pandemi. Namun, tidak semua pendaftar bisa menikmati fasilitas kartu prakerja. Hingga gelombang terakhir dilaksanakan, data dari situs resmi kartu prakerja mencatat lebih dari 83 juta pendaftar kartu prakerja dan hanya 11,4 juta yang berhasil lolos. Mengingat tingginya penduduk miskin dan hampir miskin akibat pandemi, informasi kegagalan partisipasi tersebut idealnya perlu ditelisik lebih mendalam.

Permasalahan berikutnya datang dari ketidakrataan akses internet pada setiap daerah yang ada di Indonesia. Data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyatakan kontribusi penetrasi internet 2020 masih didominasi pengguna di pulau Jawa dengan prosentase 57 persen dari seluruh pengguna di wilayah Indonesia. Layak, jika program prakerja lebih banyak diikuti oleh peserta dari pulau Jawa.

Selain itu, terbatasnya akses internet membuat tidak maksimalnya pelaksanaan pelatihan bagi peserta di luar Jawa. Hambatan lain yang dihadapi masyarakat dalam penggunaan internet adalah mahalnya kuota internet. Dalam survei AJPII juga disebutkan bahwa 73,7 persen responden mengungkapkan alasannya tidak menggunakan internet karena biayanya yang mahal.

Kemunculan joki prakerja adalah salah satu akibat dari tidak meratanya akses internet. Peserta di daerah minim internet memilih menggunakan joki untuk menyelesaikan pelatihannya. Bahkan ada pula yang menggunakan joki dari awal proses pendaftaran sampai akhir pelatihan.

Pelatihan prakerja yang dilakukan secara daring juga menuai polemik pada kedalaman pencapaian materi pelatihan. Dari beberapa pelatihan yang ada, bentuk materi pelatihan bersifat umum, semacam sosialisasi atau pengenalan mendasar saja, tidak mendalam dan belum mengajarkan materi keterampilan langsung. Dari sini kita jadi paham terdapat lompatan logika dari teori perubahan maupun teori aksi yang dibangun oleh program Kartu Prakerja pada desain programnya. Lompatan logika ini berimplikasi pada kebiasaan pengambil kebijakan yang cenderung menyederhanakan persoalan karena desain program yang overpromising alias tidak logis.

Pada tahun ini anggaran prakerja digelontorkan sebesar Rp 11 triliun, sebagaimana diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dilaksanakan guna melanjutkan program Kartu Prakerja. Hal ini dilakukan atas rekomendasi hasil studi yang menyatakan bahwa kartu prakerja berhasil meningkatkan kompetensi, produktivitas, daya saing, serta kewirausahaan peserta. Serta berpengaruh pada upah dan inklusi keuangan. Tidak ada penjelasan lebih jauh tentang perbaikan pendekatan maupun proses prakerja sehubungan dengan catatan yang telah ditulis di atas.

Ada juga evaluasi dampak yang hasilnya menyatakan bahwa penerima Kartu Prakerja memiliki probabilitas 4,7 poin persentase (8%) lebih tinggi untuk memiliki pekerjaan atau memiliki usaha, probabilitas 11,7 pp (172%) lebih tinggi untuk menggunakan sertifikat pelatihan saat mencari pekerjaan, dan memiliki probabilitas 2,9 pp lebih tinggi, menunjukkan peningkatan ketahanan pangan sebesar 6%.

Evaluasi yang menggambaran informasi makro tentang dampak prakerja tersebut perlu diapresiasi, namun sesungguhnya pelaksanaannya terlalu dini untuk mendapatkan informasi tentang dampak, mengapa tidak menjalankan evaluasi proses yang justru lebih relevan? Indonesia sangat majemuk, kapasitas dan kemampuan peserta untuk menyerap program berbeda-beda. Ketika melihat aspek makronya saja, kelompok-kelompok marginal yang paling terdampak selama pandemi akan makin tertinggal dari program yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan ini. Hal ini tampaknya yang membuat desain prakerja permisif terhadap catatan lapangan. Prakerja belum menampakkan kemauannya untuk memperbaiki proses. Sangat disayangkan, momentum perbaikan tersebut menjadi terlewat.

Evaluasi proses diperlukan guna menelisik kemungkinan inklusi dan probabilita pencapaian dampak yang lebih luas. Selain itu, evaluasi dampak prakerja meski terlalu cepat dijalankan, perlu memperkaya metodologinya dengan evaluasi yang lebih kualitatif dan dengan pendekatan yang lebih partisipatif. Penting untuk memperkaya hasil survei yang ada atau berbagai evaluasi kuantitatif lainnya, utamanya guna menjangkau kelompok-kelompok masyarakat yang tereksklusi dari program ini.

Pekerjaan rumah Program Kartu Prakerja masih cukup banyak untuk memperbaiki desain program dan prosesnya. Pemerintah tidak boleh terlalu terburu-buru dalam melanjutkan program sebelum ada evaluasi yang matang. Pernyataan Direktur Kemitraan, Komunikasi, dan Pengembangan Ekosistem Kartu Prakerja, Sumarna Abdurahman, cukup jelas mengatakan bahwa program Kartu Prakerja semester 1 tahun ini masih akan sama dengan tahun lalu.

Dari berbagai catatan yang ada, beberapa poin ini perlu diperhatikan sebelum melanjutkan kembali program Kartu Prakerja. Pertama, sasaran program Kartu Prakerja kali ini harus lebih tepat dengan menggabungkan mekanisme pendataan partisipatif. Yang terdata, perlu dipastikan tidak tereksklusi dan diupayakan aksesnya agar mendapatkan program tersebut.

Ketika program didesain secara daring penuh, maka masyarakat usia produktif yang dekat dengan dunia digital yang hanya akan mampu mengakses. Bagaimana dengan masyarakat kelompok usia non-produktif atau yang belum melek digital?

Kedua, pilihan paket pelatihan harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan pasar berbagai tingkatan mulai dari lokal, nasional, Kawasan, hingga global. Lalu peningkatan keahlian akan sejalan dan bermanfaat jika paska pelatihan para peserta dapat mengaplikasikan pengetahuannya secara langsung. Hal ini akan berpengaruh besar pada program Kartu Prakerja. Di satu sisi para calon pekerja milenial yang telah mapan akses digitalnya dapat mengikuti pelatihan dari jauh dan sangat memungkinkan untuk mengambil pekerjaan diluar batas geografisnya bahkan pasar global yang sepenuhnya dilakukan secara remote.

Selain itu, paket pelatihan tidak harus bergantung pada tren pekerjaan saat ini, opsi memastikan peluang pekerjaan yang ada pada tiap daerah juga perlu dipertimbangkan. Sehingga, para pekerja dapat memprioritaskan untuk mengisi kesenjangan pekerjaan di daerah. Mereka juga dapat bekerja sesuai kemampuannya dan tetap di daerah masing-masing pasca pelatihan. Hal ini akan mendorong inovasi dan kewirausahaan di daerah.

Ketiga, membuka opsi pelatihan secara hybrid bagi kelompok masyarakat yang tereksklusi karena literasi digital yang masih terbatas, adanya hambatan disabilitas, budaya dan gender, serta kategori usia. Pelatihan secara daring belum maksimal untuk membentuk keterampilan peserta. Perlu ditambahkan dengan kegiatan mentoring, pendampingan teknis, dan penyaluran pemagangan. Perlu dilakukan praktik-praktik nyata di lapangan pada setiap pelatihan. Penyelenggara prakerja dapat bekerja sama dengan pihak-pihak pemerintah maupun swasta untuk melakukan proses magang. Jika memungkinkan, bisa dilanjutkan dengan proses sertifikasi keahlian. Tanpa itu, pemerintah akan terus terjebak pada logika perubahan palsu yang berujung pada kesan terlalu menyederhanakan persoalan. Pendek kata, lompatan logika desain program yang telah dibangun harus diperbaiki.

Keempat, integrasi antarlembaga di daerah, utamanya bersama komunitas dan wirausahawan lokal. Perlunya keterhubungan ini dimaksudkan untuk memunculkan upaya kolaborasi guna membuka usaha-usaha baru di setiap daerah sesuai dengan potensinya. Sebab, ketika mengandalkan industri untuk menyalurkan tenaga kerja, proporsi jumlah calon pekerja dan lowongan pekerjaan tidak berimbang.

Kelima, pemerintah harus segera mendorong pemerataan pembangunan pada sektor infrastruktur penyedia layanan internet, atau mendekatkan akses internet ke sasaran program dan memastikan mereka tidak tereksklusi. Upaya menanggulangi ketimpangan antar daerah dan pemerataan akses informasi bisa ditangani jika semua daerah memiliki akses dan jaringan internet yang setara.

Tugas berat program Prakerja bukan sekadar memberikan dan menyalurkan tenaga kerja. Lebih dari itu, prakerja adalah upaya dan jalan jangka panjang yang dipercaya cukup berdampak potensinya guna membentuk masyarakat Indonesia yang lebih terampil, kompeten, dan kompetitif. Sehingga, potensi demographic disasters yang dikhawatirkan banyak pihak dapat dieliminir karena makin terbukanya peluang lapangan pekerjaan baru yang kemungkinan akan dihasilkan oleh alumni program Kartu Prakerja.


Komentar

Silahkan login untuk memberikan komentar