Refleksi Kebijakan Penanganan Endemi HIV/AIDS, Keberagaman Gender, dan Seksualitas
Masih dalam rangka peringatan International Women’s day, MONEV Studio bersama Caroline Thomas dari Pusat Studi Kebijakan HIV/AIDS (PPH) Universitas Atma Jaya dan Slamet Raharjo dari Koordinator Nasional Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL INA) mengangkat secara khusus isu tentang keberagaman gender dan prilaku seksual serta implikasinya ke penanganan endemi HIV/AIDS sebagai salah satu sektor yang kemungkinan tereksklusi dari kebijakan selama pandemi hampir dua tahun ini.
Pada diskusi ini, kami juga memberikan pemahaman bagi publik yang lebih baik tentang apa itu HIV/AIDS, bagaimana konstruksi dan penyikapannya, dan mencoba memahami lebih jauh lagi apa hubungan antara keberagaman gender, seksualitasnya, dan HIV/AIDS.
Pada agenda MONEV Talks #15, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi pokok diskusi kami, lebih jelasnya sebagai berikut:
1. Tentang penanganan endemi HIV/AIDS selama pandemi jika dibandingan dengan masa normal
Pada 2020, terdapat survei cepat oleh Jaringan Indonesia Positif terkait respon orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di indonesia terhadap COVID-19. Kurang lebih 41,1 persen teman-teman positif HIV/AIDS mengalami kecemasan tertular COVID-19. Selain itu, data juga menunjukkan teman-teman ODHA mengalami kekhawatiran terkait kesehatan anggota keluarga dan stigma terkait status HIV/AIDS.
Pada saat COVID-19 melanda, jelas mempengaruhi penanganan HIV/AIDS. PPH merasakan dan menerima laporan dari lapangan, program penanganan HIV/AIDS tetap berjalan tetapi terdapat hambatan. Misalnya kegiatan tidak dapat dilaksanakan dan ada keterbatasan jam buka layanan.
Selain itu, program penanggulangan HIV/AIDS di lapangan tidak bisa menjumpai langsung kelompok dampingan, hanya bisa memberi informasi secara daring. Permasalahan lain juga timbul pada pendistribusian langsung alat pencegahan HIV/AIDS.
2. Tentang pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS, keberagaman gender, dan perilaku seksualitasnya
Tidak semua masyarakat paham. Pemahaman hanya sebatas pada komunitas yang mau menerima keberagaman. Namun pemahaman saja tidak cukup, perlu diimplementasikan dalam tindakan untuk mengedukasi yang lain. Karena keberagaman gender dan perilaku seksualnya yang tidak umum dianggap sebagai menyimpang dan sensitif untuk dibicarakan, dan persoalan HIV/AIDS dianggap sangat dekat dengan penyimpangan tersebut.
Di sini, terdapat masyarakat yang konservatif, banyak juga yang modern namun tidak berani secara terbuka menunjukkan penerimaannya.. Masyarakat konservatif yang paham terkait keberagaman gender dan perilaku seksualnya juga banyak namun tidak menerima. Meski spektrum gender luas. terdapat juga kelompok masyarakat lain yang tidak mau menerima keberadaan gender dan prilaku seksual yang beragam karena dianggap menyimpang.
Kepercayaan terhadap nilai dan norma salah satunya mempengaruhi prilaku penerimaan tersebut. Termasuk penilaian masyarakat terkait HIV/AIDS yang dianggap sebagai akibat prilaku seks bebas, sementara sesungguhnya adalah akibat dari perilaku seks berisiko. Beresiko dalam artian tidak menerapkan penggunaan kondom, gonta-ganti pasangan, atau lainnya.
3. Penyebab atau penyembuh HIV/AIDS dan hubungannya dengan kelompok lesbian, biseksual, dan transgender yang selama ini dilabel masyarakat sebagai biang kerok
Penyebab HIV adalah virus, HIV masuk dalam kategori family retrovirus. Obatnya anti retrovirus. Terkait mengapa banyak kelompok berprilaku seks tertentu menjadi penderita, memang virus HIV awalnya ditemukan pada laki-laki yang berhubungan dengan laki-laki pada 1981. Ada 5 orang yang memiliki gejala sama, nama virus awalnya masih GRID (Gay-related immune deficiency).
Sejak saat itu, pemahaman masyarakat terkait HIV lekat dengan gay. Stigma HIV selalu identik dengan gay, sementara menurut data Kemenkes memyebutkan orang yang terkena HIV dari golongan heteroseksual lebih banyak daripada yang berhubungan sesama jenis. Sekarang sekitar 23% penderita adalah gay, sisanya dari kelompok yang lain.
4. Masalah yang timbul akibat kesalahpahaman tentang tiga hal di atas
Stigma yang ditujukan pada kelompok tertentu yang kebenarannya belum pasti, akhirnya memunculkan diskriminasi. Ini membuat kelompok tertentu menjadi tereksklusi dari berbagai kebijakan termasuk upaya penanggulangan HIV/AIDS. Misalnya, kelompok waria atau transgender yang berprilaku berisiko menjadi engan, malu, bahkan takut untuk datang ke pusat layanan HIV/AIDS karena dikata-katain dan diolok-olok.
Perilaku diskriminatif juga dilakukan oleh petugas layanan dalam konseling HIV/AIDS. Misalnya terdapat oknum petugas yang lebih fokus hanya memberi ceramah tentang moralitas dan bukannya memberikan layanan medis dan pemahaman yang benar terkait HIV/AIDS.
Selain itu, berbicara tentang perlindungan sosial belum sampai mengcover keberagaman gender. Populasi kunci sering dikriminalkan oleh kebijakan. Dalam rancangan RUKUHP pasal 481 dan 483 sangat rentan mengkriminalisasi komunitas yang bekerja untuk penanggulangan HIV/AIDS. Pegiat akan banyak dikriminalisasi karena harus ada izin resmi untuk melalukan pengenalan kondom atau alat pencegah HIV/AIDS lainnya.
5. Kebijakan dari sisi kesehatan fisik maupun kejiwaan, dan juga perlindungan terhadap penyandang HIV/AIDS, juga kelompok masyarakat LGBT yang tereksklusi
Banyak kebijakan di Indonesia yang masih diskriminatif terhadap populasi kunci. Misalnya, peraturan Kementerian Kesehatan terkait petunjuk melakukan konseling untuk HIV/AIDS, anak harus meminta izin orang tua untuk melakukan tes, padahal latar belakang anak itu tidak memungkinkan untuk melakukannya.
Dalam bentuk undang-undang relatif belum ada bentuk diskriminasi untuk populasi kunci, namun peraturan daerah banyak yang diskriminatif. Beberapa daerah ada hukum cambuk dan peraturan ketahanan keluarga. Terkadang, kebijakan antar kementerian juga bertentangan. Kemenkes melihat dari sisi kesehatan namun di kementerian lain terkadang melihat dari sisi yang lain dan kurang berhubungan.
6. Peran komunitas agar dapat mendorong kebijakan yang lebih baik di sektor ini
Koalisi Anti Diskriminasi mengupayakan 3 hal dalam advokasi. Pertama, menginisiasi rancangan kebijakan anti diskriminasi. Kedua, mendukung pemerintah untuk merevisi UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dengan memperluas cakupan kelompok rentan. Ketiga, memasukkan isu-isu anti diskriminasi keberagaman pada semua kebijakan yang sudah ada maupun rancangan kebijakan.
Untuk komunitas-komunitas, perbanyak konten dan tulisan anti diskriminasi, agar masalah bersama ini tidak menjadi tabu lagi di masyarakat. Information is power, juga diperlukan memperbanyak penelitian-penelitian terkait permasalahan ini.
7. Kiprah masyarakat dalam edukasi keberagaman gender dan seksualitas untuk menekan endemi HIV/AIDS
Masyarakat idealnya tidak diam, namun dapat turut bersuara melalui bentuk apapun jika menemui diskriminasi berbasis gender maupun terkait HIV/AIDS. Jika diam artinya menjadi pelaku diskriminasi. Masyarakat perlu turun tangan membantu orang-orang yang menjadi korban. Masyarakat dapat berperan menjadi kelompok yang kritis memperjuangkan kelompok minor jika ada ketidakadilan.
Selain itu kekerasan berbasis gender tidak hanya dialami oleh perempuan, namun semua kelompok berpotensi mengalami kekerasan berbasis gender juga. Oleh karenanya berbagai kelompok musti bekerja sama untuk memastikan tidak ada kekerasan berbasis gender apapun.
Lebih lanjut terkait pemahaman terhadap HIV/AIDS, narasumber PPH menegaskan bahwa HIV/AIDS disebabkan oleh virus, sama seperti COVID-19, di mana masyarakat tahu penyebabnya dan cara pencegahannya seperti apa. Dengan protokol sama, lakukanlah itu, tutup jalur masuknya, sesederhana itu. HIV tidak mengenal gender mana, bisa masuk ke mana saja, selagi masyarakat berprilaku berisiko maka akan rentan terkena. Oleh sebab, itu jangan mendiskrimanasi kelompok tertentu.
Masyarakat perlu saling menjaga diri untuk tidak terkena HIV. Perlu juga memberikan dukungan untuk teman-teman HIV/AIDS dalam bentuk advokasi yang menjadi permasalahan mereka. Orang terkena HIV/AIDS tidak perlu dikasihani tapi perlu didukung. Hilangkan stigma dan diskriminasi, dukung program pemerintah dengan tidak mengkriminalkan populasi kunci.